"Inflasi layaknya
suhu tubuh; terlalu tinggi berbahaya, terlalu rendah juga tidak sehat."
Pada September
2024, Sumatera Selatan mencatat tingkat inflasi tahunan (Year on Year, YoY)
sebesar 1,40%, lebih rendah dari rata-rata nasional yang sebesar 1,84%. Angka
inflasi ini menurun signifikan dibandingkan inflasi sebesar 3,35% pada Januari 2024. Di sisi lain,
inflasi tahun kalender (Year to Date, YtD) sebesar 0,04%, mencerminkan
stabilitas harga sepanjang tahun. Sementara secara bulanan (Month to Month,
MtM), terjadi deflasi sebesar -0,12% di bulan September, melanjutkan tren
deflasi yang berlangsung sejak Juni 2024.
Pertanyaannya
adalah, apakah angka-angka ini mencerminkan keberhasilan pengendalian inflasi,
atau justru mengindikasikan tantangan tersembunyi untuk diwaspadai?
Deflasi
Beruntun: Pencapaian atau Tantangan?
Deflasi Month to Month (MtM) berturut-turut sejak
Juni hingga September 2024 menandakan penurunan harga secara konsisten. Sekilas,
terdengar sebagai kabar baik bagi konsumen. Namun, perlu diingat bahwa deflasi
berkepanjangan bisa jadi adalah sinyal melemahnya permintaan agregat dalam
ekonomi (Krugman, 1998). Ketika
konsumen menunda pembelian dengan harapan harga akan terus turun, hal ini dapat
menyebabkan perlambatan aktivitas ekonomi.
Dalam konteks
Sumatera Selatan, deflasi September 2024 (MtM) dipicu oleh beberapa faktor. Panen
serentak di berbagai daerah, seperti Musi rawas, Lahat, Muara Enim, Banyuasin,
dan Ogan Komering Ilir, menyebabkan anjloknya harga cabai merah dan cabai
rawit. Diikuti dengan melimpahnya stok tomat juga telur ayam ras. Panen
melimpah ini memang memberikan kelonggaran bagi konsumen, terutama bagi
kelompok berpenghasilan rendah yang sangat terbantu dengan harga pangan murah.
Namun, kondisi ini bersifat sementara. Seperti dijelaskan oleh Chen et al.
(2017), setelah masa panen usai, tanpa infrastruktur penyimpanan dan distribusi
memadai, harga pangan dengan cepat merangkak naik.
Selain penurunan
harga pangan, penyesuaian harga BBM turut berkontribusi pada deflasi bulanan.
Penurunan harga Pertamax sebesar 5,36% dan Dexlite sebesar 6,88% membantu
mengurangi biaya transportasi dan produksi dalam jangka pendek. Namun, seperti
harga pangan, penurunan harga BBM ini mungkin tidak bertahan lama. Fluktuasi
harga minyak global dan kebijakan energi nasional dapat membalikkan tren ini.
Baumeister dan
Kilian (2014) menunjukkan kenaikan harga
minyak dapat menyebabkan pass-through ke harga konsumen melalui
peningkatan biaya produksi dan transportasi. Selaras dengan temuan ini, Li dan
Li (2013) menegaskan bahwa fluktuasi harga minyak berdampak langsung pada biaya
transportasi, yang kemudian diteruskan ke harga produsen dan konsumen. Kondisi
ini pada akhirnya akan memicu tekanan inflasi, terutama di sektor-sektor yang sensitif
terhadap biaya logistik, seperti pangan dan kebutuhan dasar lainnya.
Inflasi
Tahunan Rendah: Stabilitas atau Indikasi Lemahnya Permintaan?
Pada September
2024, inflasi tahunan di Sumatera Selatan tercatat 1,40%, lebih rendah dari
rata-rata nasional. Meski tampak stabil, terdapat dinamika sektorial yang
mengindikasikan potensi risiko. Sektor perawatan pribadi dan jasa lainnya
mencatat inflasi tertinggi sebesar 7,35%. Kelompok ini menyumbang 0,52%
terhadap inflasi, dengan emas perhiasan sebagai penyumbang utama (0,58%).
Kelompok pengeluaran
lainnya, seperti rekreasi, olahraga, dan budaya mencatat inflasi 2,67%, dipicu
oleh kenaikan harga barang rekreasi lainnya (4,63%) dan mainan anak. Kelompok pendidikan
mengalami inflasi 1,82%, terutama dari subkelompok pendidikan tambahan (6,66%).
Sektor perumahan, air, listrik, dan bahan bakar rumah tangga mengalami inflasi
2,17%, dengan tarif PDAM naik 12,86%. Kelompok transportasi mencatat inflasi
1,81%, didorong oleh jasa angkutan penumpang (3,13%).
Di sisi lain,
beberapa sektor justru mengalami deflasi. Kelompok pakaian dan alas kaki
mencatat deflasi sebesar -1,41%, sementara perlengkapan, peralatan, dan
pemeliharaan rutin rumah tangga juga mengalami deflasi sebesar -0,61%. Kelompok
informasi, komunikasi, dan jasa keuangan mencatat deflasi sebesar -0,42%,
dengan penurunan harga pada peralatan informasi dan komunikasi sebesar -1,70%.
Tren deflasi
dapat mengindikasikan melemahnya permintaan konsumen, di mana masyarakat
cenderung menahan pengeluaran karena ekspektasi harga yang lebih rendah di masa
mendatang. Selain itu, deflasi juga bisa mencerminkan peningkatan efisiensi
produksi yang menurunkan biaya. Namun, penurunan harga yang berkelanjutan dapat
menyebabkan konsumen semakin enggan untuk berbelanja, memperburuk pelemahan
permintaan dan menekan pertumbuhan ekonomi.
Mengapa
Inflasi Rendah Perlu Diwaspadai?
Inflasi yang
terlalu rendah atau deflasi dapat menimbulkan beberapa risiko. Penurunan harga
yang berkepanjangan dapat mengurangi pendapatan produsen dan petani, yang pada
gilirannya dapat menurunkan investasi dan produksi di masa depan.
Lebih lanjut,
Borio dan Filardo (2004) menjelaskan bahwa deflasi meningkatkan nilai riil
utang, sehingga debitur harus membayar lebih dalam hal daya beli. Selain itu,
dengan inflasi yang rendah, bank sentral memiliki ruang yang terbatas untuk
menurunkan suku bunga guna merangsang ekonomi (Summers, 1991). Risiko perangkap
likuiditas juga muncul, seperti yang dialami Jepang pada 1990-an, di mana
inflasi rendah menyebabkan kebijakan moneter menjadi kurang efektif (Krugman,
1998).
Lebih lanjut, meskipun
penurunan harga dapat meningkatkan daya beli konsumen dalam jangka pendek,
dampak jangka panjangnya belum tentu positif. Easterly dan Fischer (2001)
menunjukkan bahwa inflasi yang terlalu rendah dapat memperburuk kondisi
kelompok berpenghasilan rendah jika diikuti oleh penurunan aktivitas ekonomi
dan kesempatan kerja. Selain itu, Albanesi (2007) menyoroti bahwa inflasi yang
sangat rendah dapat meningkatkan ketimpangan pendapatan, karena aset finansial
cenderung memberikan keuntungan lebih besar bagi kelompok berpenghasilan
tinggi.
Potensi Defisit
Beras dan Dampaknya terhadap Inflasi Pangan
Ke depan, kita
juga perlu mewaspai potensi defisit beras pada akhir tahun, terutama mengingat
akhir tahun merupakan periode tanam padi, bukan panen. Potensi penurunan stok
beras di akhir tahun berisiko semakin besar jika disertai gangguan cuaca
seperti banjir. Sebagai komoditas pokok, beras memiliki peran yang sangat
signifikan dalam menentukan tingkat inflasi. Ketidakstabilan pasokan beras akan
langsung memicu kenaikan harga, yang kemudian mendorong inflasi pangan secara
keseluruhan.
Lebih lanjut,
ketika produksi beras lokal tidak mencukupi, ketergantungan pada impor sering
kali menjadi solusi sementara. Namun, impor beras menghadirkan tantangan
tersendiri. Kondisi geopolitik, fluktuasi harga internasional, ketidakstabilan nilai
tukar rupiah, serta biaya transportasi yang tinggi dapat meningkatkan harga
beras impor, yang pada akhirnya akan diteruskan kepada konsumen dalam negeri.
Implementasi
Kebijakan: Memperkuat Daya Beli dan Menjaga Stabilitas Ekonomi
Untuk menghadapi
tantangan inflasi, Sumatera Selatan memerlukan strategi kebijakan yang
komprehensif dan berkelanjutan. Peningkatan permintaan agregat melalui stimulus
fiskal, seperti belanja infrastruktur dan program sosial, dapat mendorong
konsumsi dan investasi. Diversifikasi ekonomi, dengan mengembangkan sektor
manufaktur dan jasa, akan menciptakan lapangan kerja dan sumber pertumbuhan
baru (Hausmann et al., 2007). Langkah ini harus disertai peningkatan
produktivitas melalui adopsi teknologi dan pelatihan tenaga kerja untuk
meningkatkan daya saing lokal dan nasional (McMillan & Rodrik, 2011).
Selain itu, memperkuat
infrastruktur pertanian melalui investasi dalam fasilitas penyimpanan dan
distribusi akan membantu menstabilkan harga pangan sepanjang tahun (Reardon et
al., 2003). Pembangunan gudang penyimpanan beras yang memadai, misalnya, dapat
mengurangi risiko kekurangan pasokan saat produksi menurun. Selain itu,
penerapan teknologi pertanian modern dan diversifikasi pola tanam dapat
meningkatkan ketahanan pangan dan mengurangi dampak perubahan iklim.
Kebijakan energi
yang berkelanjutan juga penting, dengan mendorong penggunaan energi terbarukan
untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil dan volatilitas harga
energi (Sadorsky, 2009). Pemerintah dapat mendorong penggunaan transportasi
umum dan mempercepat transisi ke kendaraan listrik. Langkah ini tidak hanya
menekan permintaan BBM tetapi juga mengurangi emisi gas rumah kaca, sejalan
dengan upaya mitigasi perubahan iklim.
Sejalan dengan
diversifikasi ekonomi, teknologi informasi dan analisis prediktif memegang
peran penting dalam mendukung kebijakan berbasis data yang lebih akurat. Pemanfaatan
big data memungkinkan pemantauan harga dan pasokan secara real-time, sehingga
pemerintah dapat merespons fluktuasi pasar dengan cepat dan efektif (Einav
& Levin, 2014). Pendekatan ini membuat kebijakan pengendalian inflasi lebih
tepat sasaran dan responsif terhadap dinamika ekonomi.
Agar kebijakan
efektif dan menjangkau semua lapisan masyarakat, diperlukan kolaborasi antara
pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat. Easterly dan Fischer (2001)
menekankan bahwa inflasi lebih berdampak pada kelompok rentan, sehingga
kebijakan harus memperhatikan kebutuhan mereka. Agénor (2002) juga menekankan
pentingnya kebijakan makroekonomi yang mempertimbangkan dampaknya terhadap
kemiskinan dan kesejahteraan kelompok rentan.
Menjaga
Stabilitas
Inflasi rendah di
Sumatera Selatan pada September 2024 merupakan fenomena yang perlu dicermati
dengan hati-hati. Meskipun memberikan keuntungan jangka pendek berupa penurunan
harga-harga, inflasi yang terlalu rendah atau deflasi dapat menjadi indikasi
melemahnya permintaan dan potensi perlambatan ekonomi.
Seperti suhu
tubuh manusia, inflasi ideal adalah yang berada pada tingkat stabil dan
sehat—tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah. Dengan kebijakan tepat dan
proaktif, pemerintah dapat menjaga keseimbangan ini, guna memastikan
pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar