Ekspor Sumsel dalam Bayang-Bayang Trump 2.0
Oleh: Marpaleni, MA, Ph.D
Statistisi Ahli Madya di BPS Provinsi
Sumatera Selatan
dimuat di Harian Sriwijaya Post 4 Desember 2024
"The best way to predict the future
is to create it." Peter Drucker.
Kutipan di atas bukan sekadar inspirasi, tetapi
panggilan untuk bertindak. Kembali terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden
Amerika Serikat pada November 2024 membawa sinyal kuat: kebijakan "America
First" berpotensi kembali, bahkan mungkin dalam versi lebih agresif—Trump
2.0.
Bagi Sumatera Selatan—lumbung ekspor Batubara
Indonesia, karet, kelapa sawit dan kopi Indonesia—kebijakan proteksionis AS adalah
tantangan sekaligus peluang berbenah.
Sumatera Selatan vs Kebijakan
Proteksionisme
Rilis terbaru BPS mengungkapkan performa
ekspor Sumsel yang impresif. Per Oktober 2024, ekspor Sumsel mencapai US$646,06 juta, tumbuh 5,70% dari bulan sebelumnya dan
melesat 22,46% dibanding periode yang sama tahun lalu. Sebaliknya, impor Sumsel
turun ke US$110,62 juta, anjlok 33,19% dari September atau turun 23,78%
year-on-year. Hasilnya, neraca perdagangan mencatat surplus signifikan sebesar
US$535,44 juta, mencerminkan ketahanan Sumsel di tengah tekanan ekonomi global.
Namun, di balik capaian positif ini,
terselip tren yang patut diwaspadai. Secara kumulatif, ekspor Januari-Oktober
2024 turun 1,69% dibandingkan tahun sebelumnya. Jika kebijakan proteksionis
Trump kembali diterapkan, penurunan ini berpotensi semakin tajam.
Proteksionisme:
Pendekatan Lama, Dampak Baru
Proteksionisme bukan hal baru. Kebijakan
ini melindungi industri domestik dengan membatasi impor melalui tarif tinggi
dan regulasi ketat. Tujuannya: mengurangi ketergantungan pada produk asing dan
memperkuat sektor strategis yang vital bagi ekonomi dan keberlanjutan industri
lokal.
Frasa '2.0' menandakan
versi baru atau pembaruan, mencerminkan evolusi dari sebelumnya. Sejak
diperkenalkan oleh Tim O'Reilly melalui konsep 'Web 2.0' pada awal 2000-an,
istilah ini populer digunakan untuk menggambarkan inovasi, seperti 'Industri
2.0' atau 'Pendidikan 2.0.'
'Trump 2.0' merujuk
pada kemungkinan perubahan kebijakan signifikan di masa jabatan kedua Donald
Trump. Selama periode pertama, ia dikenal dengan proteksionisme dagang,
kebijakan imigrasi ketat, dan hubungan rumit dengan sekutu AS. Jika kembali ke
Gedung Putih, kebijakannya diperkirakan akan mengubah dinamika politik AS,
ekonomi global, dan aliansi internasional secara besar-besaran.
Dari
Perspektif AS: Proteksionisme sebagai Solusi Ekonomi?
Bagi Amerika
Serikat, proteksionisme dipandang sebagai strategi kunci untuk menguatkan daya
saing produk domestik, menciptakan lapangan kerja pada sektor terdampak impor,
serta mengurangi defisit perdagangan. Di mata pendukungnya, proteksionisme
bukan sekadar kebijakan ekonomi; tetapi juga alat untuk membangkitkan industri
dalam negeri dan merangsang pertumbuhan ekonomi yang berfokus pada produksi
lokal. Contohnya, tarif tinggi baja dan aluminium era
Trump sebelumnya memberi stimulus besar bagi sektor tersebut.
Jika pendekatan
proteksionisme agresif ala Trump diterapkan kembali—bahkan mungkin dalam versi
2.0—ketegangan perdagangan antara AS dan negara-negara besar seperti Tiongkok
dan Uni Eropa hampir pasti akan meningkat. Dampaknya tak hanya mempengaruhi
harga komoditas global dan rantai pasok internasional, tetapi juga menimbulkan
ketidakstabilan ekonomi yang harus diantisipasi oleh negara-negara eksportir,
termasuk Indonesia.
Tantangan
Khusus bagi Sumsel
Pada Oktober 2024, ekspor nonmigas Sumsel
mencapai US$616,96 juta, naik 6,37% dari bulan sebelumnya, atau 27,70%
year-on-year. Peningkatan bulanan didorong oleh lonjakan permintaan sejumlah
komoditas seperti batubara (17,28%), minyak nabati/hewan (458%), kayu dan
produk kayu (25,99%), serta pupuk (151,09%). Namun demikian, kembalinya
kebijakan proteksionis AS berpotensi menjadi hambatan serius. Tarif tinggi dan
regulasi ketat dapat melemahkan daya saing ekspor utama Sumsel, mengancam tren
pertumbuhan positif yang ada.
Proteksionisme modern tak hanya
menghadirkan tarif tinggi, tetapi juga hambatan non-tarif seperti standar
lingkungan dan sosial yang ketat. Kebijakan ini berpotensi memperumit ekspor
andalan Sumsel—batubara, kelapa sawit, dan kayu—yang kerap terimbas isu
lingkungan.
Tantangan proteksionisme tak hanya soal
standar ketat. Ketergantungan pada ekspor komoditas primer membuat negara
berkembang rentan terhadap kebijakan negara besar. Di Sumsel, 56,43% ekspor
selama Januari–Oktober 2024 ditujukan ke tiga pasar utama—Tiongkok, India, dan
Korea Selatan. Ketergantungan ini berisiko; setiap perlambatan ekonomi atau
perubahan kebijakan di negara-negara tersebut dapat langsung menekan permintaan
ekspor. Lebih jauh, ekspor Sumsel ke AS, pasar terbesar kelima, menyumbang
5,56% dari total ekspor pada periode yang sama. Jika proteksionisme ketat AS
kembali diterapkan, dampaknya tentu akan signifikan.
Ekonom Paul
Krugman, memperingatkan bahwa proteksionisme dan perang dagang tidak hanya
mengganggu keseimbangan ekonomi global, tetapi juga menciptakan ketidakpastian,
dan memperlambat pertumbuhan—terutama di negara berkembang. Bagi Sumsel,
ketidakpastian ini bisa memperburuk situasi, terutama mengingat penurunan
ekspor kumulatif yang berlangsung sepanjang tahun.
Peluang
Diversifikasi Pasar dan Hilirisasi Produk
Menghadapi ancaman proteksionisme,
Sumatera Selatan harus mengurangi ketergantungan pada pasar besar dengan
memperluas ekspor ke wilayah baru seperti Afrika, Timur Tengah, dan Amerika
Latin. Diversifikasi ini penting untuk mengurangi risiko dan menjaga stabilitas
ekonomi jangka panjang.
Namun, diversifikasi
saja tidak cukup. Sumsel perlu mengadopsi hilirisasi dengan mengolah bahan
mentah menjadi produk bernilai tambah, seperti oleokimia dari kelapa sawit atau
ban dari karet. Langkah ini akan meningkatkan nilai ekonomi sekaligus daya saing
Sumsel di pasar global.
Pentingnya
Sertifikasi dan Standar Keberlanjutan
Di tengah
meningkatnya kesadaran global akan isu lingkungan, penerapan standar
internasional dan praktik keberlanjutan bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan.
Jeffrey Sachs, pakar ekonomi pembangunan berkelanjutan, menekankan, agar tetap kompetitif
di pasar global, setiap daerah atau negara harus mengadopsi standar
keberlanjutan. Di negara-negara maju, standar lingkungan dan sosial sudah
menjadi syarat utama untuk produk impor.
Untuk itu, adopsi
sertifikasi seperti RSPO untuk kelapa sawit dan standar ISO untuk produk
lainnya menjadi sangat penting. Sertifikasi ini tidak hanya akan membantu
memenuhi persyaratan pasar internasional, tetapi juga meningkatkan daya saing
dan reputasi produk Sumsel di mata konsumen global. Memang, penerapan standar
ini membutuhkan investasi tambahan, seperti teknologi ramah lingkungan dan
pelatihan tenaga kerja. Namun, manfaatnya dalam jangka panjang akan signifikan —
sertifikasi keberlanjutan tidak hanya membantu menjaga akses pasar
internasional tetapi juga meningkatkan citra dan daya saing produk Sumsel.
Memperkuat
Diplomasi dan Kerja Sama Internasional
Selain itu, menyeimbangkan keterbukaan
global dengan kedaulatan nasional juga menjadi langkah penting. Bagi Sumatera Selatan, ini berarti memperkuat
diplomasi ekonomi untuk menjalin kemitraan perdagangan yang kokoh sekaligus
melindungi kepentingan domestik. Kerja sama dengan ASEAN (23,24% dari ekspor
Sumsel) dan Uni Eropa (3,11%) selama Januari–Oktober 2024 berpotensi memperluas
pasar dan memperkuat posisi dagang.
Selain perjanjian
perdagangan, Sumsel dapat memanfaatkan forum internasional dan pameran dagang
untuk mempromosikan produk unggulan. Partisipasi aktif dalam acara ini tidak
hanya membuka peluang kemitraan baru dan menarik investasi asing, tetapi juga
membantu mendiversifikasi pasar ekspor, mengurangi ketergantungan pada beberapa
negara utama.
Masa Depan
Ekonomi Sumsel di Era Trump 2.0
Potensi kembalinya
Poteksionisme di Era Trump 2.0 tidak perlu membuat gentar. Justru, ini bisa
menjadi momentum untuk memperkuat fondasi ekonomi melalui diversifikasi pasar,
hilirisasi produk, dan adopsi standar keberlanjutan serta penguatan diplomasi
internasional.
Dengan kolaborasi
antara pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat, Sumsel bisa membangun
ekonomi yang lebih tangguh dan siap menghadapi perubahan kebijakan global.
Seperti kata Drucker, “Cara terbaik untuk memprediksi masa depan adalah dengan
menciptakannya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar