3

Language

DataJoyRide adalah blog yang membahas kisah-kisah menarik seputar data. Tempat yang pas buat siapa saja yang tertarik dengan data, dari yang sudah ahli sampai yang baru mau mulai. Di sini, kamu bisa temukan cerita seru dan pengetahuan tentang data dengan cara yang gampang dan menyenangkan. Siap untuk petualangan data? Cek di DataJoyRide.

Minggu, 12 November 2023

'Glass Ceiling', 'Sticky Floor’ dan Kesetaraan Gender


 

'Glass Ceiling', 'Sticky Floor’ dan Kesetaraan Gender

Oleh: Marpaleni

dimuat di Sriwijaya Post 13 November 2023



Bayangkan burung yang berusaha terbang hanya dengan satu sayap; sulit bukan? Perjuangan burung tersebut menggambarkan bagaimana sebuah bangsa yang berupaya berkembang, namun setengah penduduknya, yaitu perempuan, berkutat dengan ketidaksetaraan. Malala Yousafzai, penerima Nobel, tajam menyatakan, “We cannot all succeed when half of us are held back”.

Pedro Conceição, Direktur Laporan Pembangunan Manusia PBB, memanfaatkan dua metafora arsitektural, sticky floor dan glass ceiling, untuk menggambarkan hambatan yang dihadapi perempuan dalam dunia kerja. Sticky floor mengacu pada kesulitan awal yang dihadapi perempuan untuk naik dalam karier, sedangkan glass ceiling menggambarkan batasan tak terlihat yang mencegah perempuan mencapai level tertinggi, seperti posisi eksekutif atau CEO. Penelitian oleh Matteazzi dkk. (2014) dan Yap & Konrad (2009) mendukung konsep sticky floor, menunjukkan bahwa perempuan cenderung mengalami hambatan dalam karier lebih awal dan lebih sering daripada pria. Di sisi lain, Deschacht  (2017) mengamati fenomena glass ceiling dan mengidentifikasi bagaimana kesenjangan gender bertahan, khususnya di posisi kepemimpinan tinggi seperti direktur atau CEO. Kedua metafora ini secara efektif merefleksikan realitas struktural dan sistemik yang menghambat kemajuan perempuan dalam hierarki profesional, menandai pentingnya strategi intervensi yang bertujuan untuk mendemokratisasi kesempatan bagi semua gender.

Ketidaksetaraan Gender Dalam Statistik

Salah satu cara untuk memahami dan mengukur persoalan ketidaksetaraan gender adalah dengan menggunakan Gender Inequality Index (GII). Indeks ini diperkenalkan oleh UNDP dan telah diadopsi di Indonesia oleh BPS dengan sebutan Indeks Ketimpangan Gender (IKG). GII dan IKG memiliki tiga dimensi penting, yaitu Kesehatan Reproduksi, Pemberdayaan, dan Pasar Tenaga Kerja. Perbedaan di antara keduanya terletak pada indikator yang digunakan.  

Pada dimensi Kesehatan Reproduksi, GII  menggunakan  Angka Kematian Ibu (Maternal Mortality Rate) sebagai indikator risiko kematian  ibu  melahirkan  dan  Tingkat  Fertilitas  Remaja  (Adolescent Birth  Rate)  sebagai  indikator  fertilitas  remaja. Sementara IKG  menggunakan indikator  proporsi  wanita  pernah  kawin  usia  15-49  tahun  yang pernah melahirkan hidup tidak di fasilitas Kesehatan (MTF) sebagai faktor risiko kematian ibu melahirkan, sedangkan fertilitas remaja didekati dengan proporsi wanita pernah kawin usia 15-49  tahun  yang  melahirkan  hidup  pertama  kali  pada usia  kurang dari  20  tahun (MHPK20).

Pada Dimensi Pemberdayaan, indikator pendidikan yang digunakan oleh GII adalah persentase penduduk usia 25 tahun ke atas yang berijazah setidaknya SMP, sementara IKG menggunakan batasan minimal SMA. Pada Dimensi Pasar Tenaga Kerja, keduanya sama-sama menggunakan indikator Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK).

Secara umum, GII/IKG memberikan gambaran tentang kerugian atau kegagalan pencapaian pembangunan manusia, akibat adanya ketidaksetaraan gender. Indeks ini berkisar antara 0 hingga 1. Nilai yang mendekati 0 mengindikasikan kesetaraan gender yang lebih baik, sedangkan nilai mendekati 1 menunjukkan ketidaksetaraan yang lebih tinggi.

Perkembangan perkembangan IKG di Sumatera Selatan.

Selama lima tahun terakhir ketidaksetaraan gender di Sumatera Selatan cenderung menurun. Pada tahun 2022, IKG Sumatera Selatan mencapai angka 0,517. Angka ini sedikit lebih baik dari IKG tahun 2021 (0,520) dan IKG tahun 2018 (0,528). Kemajuan ini terjadi berkat perbaikan pada tiga dimensi yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu Kesehatan Reproduksi, Pemberdayaan, dan Pasar Tenaga Kerja.

Pada Dimensi Kesehatan Reproduksi, terjadi penurunan proporsi perempuan yang melahirkan di luar fasilitas kesehatan (MTF) dan fertilitas remaja (MHPK20). Hal ini menandakan adanya perbaikan dalam hal Kesehatan Reproduksi. Pada tahun 2021, proporsi perempuan yang melahirkan di luar fasilitas kesehatan mencapai 30,3%. Angka ini turun menjadi 28,6% tahun 2022. Tingkat Fertilitas Remaja (MHPK20) sedikit menurun. Tahun 2019 MHPK20 sebesar 31,4%. Angka ini menurun menjadi 30,2% tahun 2022. Namun demikian, masih kecilnya persentase penurunan menandakan adanya ruang untuk perbaikan yang lebih besar lagi. Penurunan tingkat fertilitas remaja bisa menunjukkan peningkatan dalam pemahaman tentang pentingnya menunda kehamilan hingga mencapai usia yang lebih matang dan mungkin juga refleksi dari peningkatan akses ke pendidikan seksual dan layanan kesehatan reproduksi. Namun, penurunan angka ini tidak hanya harus dilihat sebagai hasil positif semata; perlu juga dipertimbangkan faktor-faktor sosial dan ekonomi, termasuk prevalensi pernikahan dini dan tingginya angka putus sekolah di kalangan remaja perempuan, yang dapat mempengaruhi angka fertilitas.

Perkembangan dimensi pasar tenaga kerja memunculkan catatan penting. Meskipun Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) laki-laki maupun perempuan meningkat, pertumbuhan TPAK perempuan berjalan lebih lambat. Ketika TPAK laki-laki meningkat dari 83,25% tahun 2018 menjadi 84,95% tahun 2022, TPAK perempuan hanya meningkat tipis. Dari 53,23% tahun 2018 menjadi 53,32% di tahun 2022. Ini menunjukkan bahwa, walaupun dimensi pasar tenaga kerja laki-laki dan perempuan sama-sama menunjukkan perkembangan positif, perlu digarisbawahi bahwa perempuan cenderung mengalami kemajuan yang lebih lambat dibandingkan dengan pria. Ini mungkin mengindikasikan adanya rintangan bagi perempuan dalam memasuki dunia kerja.

Dimensi pemberdayaan menjadi satu aspek yang patut diperhatikan. Dimensi ini memiliki dua indikator: persentase perempuan usia lebih dari 25 tahun berpendidikan SMA ke atas dan persentase anggota legislatif perempuan . Selama periode 2018-2022, persentase penduduk usia lebih dari 25 tahun berpendidikan setidaknya SMA meningkat signifikan. Pada tahun 2018, 33,99% laki-laki berpendidikan SMA ke atas. Angka ini meningkat menjadi 38,77% tahun 2022. Sebagai pembanding, persentase perempuan dengan pendidikan serupa meningkat lebih tajam, dari 29,10% di tahun 2018 menjadi 35,75% tahun 2022.  Ini menunjukkan, membaiknya akses perempuan di dunia pendidikan.  Sebuah perkembangan positif dalam mencapai kesetaraan pendidikan.

Namun demikian, kondisi di atas tidak terlihat pada dimensi pemberdayaan lainnya, yaitu keterwakilan perempuan di legislatif. Pada periode yang sama, persentase perempuan di legislatif cenderung tertahan pada angka di bawah 30%.

Implikasi Kebijakan

Dari perkembangan IKG tersebut, terdapat beberapa implikasi kebijakan yang perlu diperhatikan. Pertama, terkait peran perempuan dalam pengambilan keputusan. Meskipun keterwakilan perempuan di legislatif relatif stabil, tetapi masih belum mencapai 30%. Stagnannya keterwakilan perempuan di lembaga legislatif memunculkan pertanyaan: apakah glass ceiling masih menghalangi perempuan untuk meraih posisi kepemimpinan tertinggi? Data dari Susenas (2022) mengungkapkan bahwa 13,97% perempuan tidak memiliki ijazah. Namun, yang menarik, 9,64% perempuan berhasil menyelesaikan pendidikan universitas, melampaui laki-laki yang hanya mencapai 7,16%. Seharusnya, dengan fondasi pendidikan yang kokoh, diharapkan semakin banyak perempuan yang mampu menembus "glass ceiling". Selanjutnya, kontribusi dan perspektif perempuan di ruang-ruang strategis pengambilan keputusan makin optimal.

Selanjutnya, area lain yang membutuhkan perbaikan adalah partisipasi perempuan dalam pasar tenaga kerja. Ketidaksetaraan dalam indikator Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) menandakan adanya bayangan sticky floor yang menghalangi perempuan bergerak maju. Perlu dikaji secara mendalam apakah masih ada norma, bias gender atau ekspektasi sosial tertentu yang menghambat perempuan dalam berpartisipasi secara aktif dan meraih potensi mereka sepenuhnya. OECD (2021) mencatat, walaupun telah ada perubahan dalam norma sosial dan kebijakan,  kesenjangan upah antar gender dengan tingkat pendidikan dan pengalaman kerja serupa masih terjadi di berbagai negara Eropa. Salah satu faktor utama penyebab adalah pemberi kerja cenderung berasumsi bahwa  perempuan cenderung kurang produktif dibandingkan dengan laki-laki. Bias gender ini mengakibatkan kesenjangan upah yang persisten dan mempengaruhi seluruh siklus kerja perempuan, dari awal memasuki pasar tenaga kerja hingga masa pensiun.

Kesetaraan gender adalah langkah maju untuk pertumbuhan ekonomi dan pembangunan berkelanjutan. Namun demikian, walau kesetaraan gender telah dikenal sebagai salah satu hak asasi manusia yang paling fundamental, namun pentingnya kesetaraan gender dalam mendorong pembangunan berkelanjutan seringkali kurang mendapat perhatian. Kesetaraan gender bukan sekadar memberikan hak yang sama kepada setiap individu tanpa memandang jenis kelamin, tetapi juga melibatkan transformasi hubungan antara laki-laki dan perempuan. Mencapai ini, memerlukan keterlibatan beragam sisi. Pertam:  dengan memberdayakan perempuan di tingkat akar rumput dalam aspek ekonomi, sosial, dan politik. Kedua: dengan memastikan bahwa kebijakan dan regulasi di tingkat makro mendukung kesetaraan gender. Tanpa pendekatan dua arah ini, pembangunan berkelanjutan akan sulit dicapai.

Tanpa kesetaraan gender, pembangunan bagaikan burung yang mencoba terbang dengan hanya satu sayap. Integrasi perspektif gender dalam kebijakan, penting untuk memastikan perempuan mendapatkan kesempatan setara. Memastikan kesetaraan gender akan membentuk masyarakat yang lebih inklusif dan adil bagi semua.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

You Tube